Minggu, 31 Mei 2009

AKU PERNALKAN KEPADA ANDA HAL YANG BARU BUAT KITA

Jika Anda sudah mengetahui tantang situs ini www.amazon.com, adalah sangat luar biasa karna di sana anda akan menemui banyak produk-produk terkemuka di dunia. Anda bisa pilih apa saja sesuai dengan keinginan dan kemampuan anda. Untuk itu juga,disini sedikit saya mau bagi-bagi pengalaman disana tentang produk-produk yang dipasarkannya.
untuk Anda yang belum tahu tentang situs tersebut anda juga langsung bisa klik beberapa banner di bawah ini. Di sini kami menyediakan sedikit dari situs tersebut. Mudah-mudahan anda, dimanapun keberadaan anda sekarang, senang berbagi pengalaman bersama kami. Salam Malaya sampurna





























SELAMAT BAGI ANDA UNTUK MEMILIH INFO DAN PASTIKAN KABAR GEMBIRA ANDA KEPADA KAMI DI E-mail: ksatriaindonesia@rocketmail.com atau ozdeunivers@ymail.com
Phone: 085648259806
Ahmad Fatahillah
TAWAR GONDANG MOJOKETO

Jumat, 15 Mei 2009

BIKIN DUIT PASTI

"Saya Akan Membuka Satu Satunya RAHASIA Terhebat Masa Kini Yang Telah Membuat Sedikit Orang Mendadak Jadi Milyuner Hanya Dengan Meng-klik Beberapa Kali Seminggu Saja… Pertama Kali Terbuka Untuk Diketahui Orang Indonesia!"

...Dan Akan Membuat Anda Kaya Melebihi Mimpi Anda!


Jumat, 17 April 2009

BOLEHKAH MELIHAT RAMBUT WANITA YANG AKAN DIPINANG?

Syaikh Al-Bany ditanya:
Bolehkah seorang pria melihat lebih dari sekedar muka dan telapak tangan wanita yang akan dipinang? Contohnya rambutnya?

Jawaban
Menurut yang saya ketahui, wallahu a'lam, seorang pria boleh melihat/memandang rambut wanita yang akan dipinangnya dengan syarat tanpa sepengetahuan si wanita.

Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
Jika terbersit dalam hati kalian (keinginan) untuk melamar seorang wanita, maka hendaklah ia memandang sesuatu yang bisa mendorongnya untuk menikahi wanita tersebut.

Adapun jika dengan sepengetahuan wanita yang akan dipinang, maka yang boleh dilihat adalah hanya muka dan kedua telapak tangannya.

Diambil dari Fatwa-Fatwa Syaikh Nashiruddin Al-Albany, Penerbit: Media Hidayah

MASALAH BID'AH

BID’AH KAH PERAYAAN MAULID NABI ?

Secara bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang baru. Sedangkan dalam makna syar’i, bid’ah adalah ibadah ritual / mahdhah yang diada-adakan yang tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW. Misalnya seseorang melakukan shalat, tetapi cara dan ketentuannya dibuat sendiri tanpa mengikuti petunjuk dari tata cara shalat yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, maka itu adalah perbuatan bid’ah.
Namun umumnya para ulama mengkhususkan perkara ibadah ritual / mahdhah saja yang termasuk kategori bid’ah yang terlarang atau yang sesat. Sedangkan berkaitan dengan masalah umum dan perkara di luar ibadah mahdhah, maka bukan termasuk bid’ah yang sesat. Misalnya, dahulu Rasulullah SAW bepergian dengan mengedarai unta atau kuda, maka bila pada hari ini kita naik mobil, kereta atau pesawat terbang, tidak termasuk kategori bid’ah yang sesat.
Karena kehidupan itu berkembang, teknologi pun mengalami pergeseran. Apa yang di masa Rasulullah SAW itu ada, boleh jadi hari ini sudah tidak ada lagi. Dan apa yang kita dapati pada hari ini, di masa beliau belum ada.
Khusus masalah peringatan maulid (kelahiran) nabi SAW, memang Rasulullah SAW sama sekali tidak pernah melakukan seremoni peringatan hari lahirnya. Kita belum pernah mendapati suatu hadits / nash yang menerangkan bahwa pada tiap tanggal 12 Rabiul Awwal (sebagian ahli sejarah mengatakan 9 Rabiul Awwal), Rasulullah SAW mengadakan upacara peringatan hari kelahirannya.
Bahkan ketika beliau sudah wafat, kita belum pernah mendapati para shahabat Ridhwanullahi `alaihim melakukannya. Tidak juga para tabi`in dan tabi`it tabi`in dan para salafunas salih. Bahkan sekian generasi berikutnya dari umat Islam tidak pernah melakukan hal itu.
Menurut perkiraan, diantara yang mempelopori pelaksanaan perayaan hari kelahiran Rasulullah SAW adalah sulan Muhammad Qutuz yang saat itu sedang dalam posisi terdesak yang berusaha mendapatkan momentum untuk menggairahkan kembali semangat juang umat Islam.
Maka dengan memanfaatkan momentum hari kelahiran Rasulullah SAW yaitu pada tanggal 12 Rabiul Awwal (sebagian ahli sejarah menetapkan 9 Rabiu`l Awwal sebagai hari kelahiran beliau), diselenggarakanlah perhelatan besar. Intinya menghimpun semangat juang dengan membacakan syiir dan karya sastra yang menceritakan kisah kelahiran Rasulullah SAW.
Diantaranya yang paling terkenal adalah karya Syeikh Al-Barzanji yang menampilkan riwayat kelahiran Nabi dalam bentuk natsar (prosa) dan nazham (puisi). Saking populernya, sehingga karya seni Barzanji ini hingga hari ini masih sering kita dengar dibacakan dalam seremoni peringatan maulid nabi.
Jadilah sejak itu ada tradisi memperingati hari kelahiran nabi SAW di banyak negeri Islam. Inti acaranya sebenarnya lebih kepada pembacaan sajak dan syi’ir peristiwa kelahiran Rasulullah SAW untuk menghidupkan semangat juang dan persatuan umat Islam dalam menghadapi gempuran musuh.
Lalu bentuk acaranya semakin berkembang dan bervariasi. Di Indonesia, terutama di Betawi, para kiyai dulunya hanya membacakan syiir dan sajak-sajak itu, tanpa diisi dengan ceramah. Namun kemudian ada muncul ide untuk memanfaatkan momentum tradisi maulid yang sudah melekat ini sebagai media dakwah dan pengajaran Islam. Akhirnya ceramah maulid menjadi salah satu inti acara yang harus ada.
Bahkan sebagian organisasi Islam telah mencoba memanfaatkan momentum itu tidak sebatas seremoni dan haflah belaka, tetapi juga untuk melakukan amal-amal kebajikan seperti bakti sosial, santunan kepada fakir miskin, pameran produk Islam, pentas seni dan kegiatan lain yang lebih menyentuh persoalan masyarakat.
Kembali kepada hukum merayakannya apakah termasuk bid’ah atau bukan, memang secara umum para ulama salaf menganggap perbuatan ini termasuk bid’ah. Karena tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah SAW dan tidak pernah dicontohkan oleh para shahabat dan salafussalih. Berangkat dari dasar ini, sebagian umat Islam dan ormas pun tidak menjadikan peringatan maulid sebagai tradisi kegiatan.
Namun realitas di dunia Islam, ternyata fenomena tradisi maulid Nabi itu tidak hanya ada di Indonesia, tapi merata di hampir semua belahan dunia Islam. Kalangan awam diantar mereka barangkali tidah tahu asal-usul kegiatan ini. Tapi mereka yang sedikit mengerti hukum agama berargumen bahwa perkara ini tidak termasuk bid`ah yang sesat karena tidak terkait dengan ibadah mahdhah / ritual peribadatan dalam syariat. Buktinya, bentuk isi acaranya bisa bervariasi tanpa ada aturan yang baku. Semangatnya justru pada momentum untuk menyatukan semangat dan gairah ke-Islaman.
Diantara mereka ada yang berujjah dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari. Hadits itu menerangkan bahwa pada setiap hari senin, Abu Lahab diringankan siksanya di neraka dibandingkan dengan hari-hari lainnya. Hal itu dikarenakan bahwa saat Rasulullah SAW lahir, dia sangat gembira menyambut kelahirannya sampai-sampai dia merasa perlu membebaskan budaknya yang bernama Tsuwaibatuh Al-Aslamiyah. Kegembiraan orang tidak beriman ini atas kelahiran Rasulullah SAW sudah cukup mendapatkan ganjaran berupa keringanan siksa di neraka. Apalagi orang Islam yang bergembira dengan kelahiran Nabinya.
Namun rasanya hujjah ini tidak terlalu kuat, karena tidak mengandung ajaran atau tuntunan dengan perayan maulid itu sendiri. Selain itu, Rasulullah SAW belum lagi menjadi seorang Nabi yang membawa risalah. Padahal yang termasuk dalam tasyri’ adalah perbuatan, perkataan dan taqrir Rasulullah SAW saat menjadi Nabi.
Wallahu a’lam bis-shawab.


SHALAT TRAWIH


BERAPA JUMLAH RAKAAT SHALAT TARAWIH?
Oleh: Mochamad Bugi

Rasulullah saw menganjurkan kepada kita untuk menghidupkan malam Ramadhan dengan memperbanyak sholat. Abu Hurairah r.a. menceritakan bahwa Nabi saw. Sangat mengajurkan qiyam ramadhan dengan tidak mewajibkannya. Kemudian Nabi saw. Bersabda, “Siapa yang mendirikan shalat di malam Ramadhan dengan penuh keimanan dan harapan, maka ia diampuni dosa-dosanya yang telah lampau.” (muttafaq alaih)
Dan fakta sejarah memberi bukti, sejak zaman Rasulullah saw. hingga kini, umat Islam secara turun temurun mengamalkan anjuran Rasulullah ini. Alhamdulillah. Tapi sayang, dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan di beberapa hal yang kadang mengganggu ikatan ukhuwah di kalangan umat. Seharusnya itu tak boleh terjadi jika umat tahu sejarah disyariatkannya shalat tarawih.
Pada awalnya shalat tarawih dilaksanakan Nabi saw. dengan sebagian sahabat secara berjamaah di Masjid Nabawi. Namun setelah berjalan tiga malam, Nabi membiarkan para sahabat melakukan tarawih secara sendiri-sendiri. Hingga dikemudian hari, ketika menjadi Khalifah, Umar bin Khattab menyaksikan adanya fenomena shalat tarawih terpencar-pencar di dalam Masjid Nabawi. Terbersit di benak Umar untuk menyatukannya.Umar memerintahkan Ubay bin Kaab untuk memimpin para sahabat melaksanakan shalat tarawih secara berjamaah. ‘Aisyah menceritakan kisah ini seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Untuk selengkapnya silahkan lihat Al-Lu’lu War Marjan: 436. berdasarkan riwayat itulah kemudian para ulama sepakat menetapkan bahwa shalat tarawih secara berjamaah adalah sunnah.
Bahkan, para wanita pun dibolehkan ikut berjamaah di masjid, padahal biasanya mereka dianjurkan untuk melaksanakan shalat wajib di rumah masing-masing. Tentu saja ada syarat: harus memperhatikan etika ketika di luar rumah. Yang pasti, jika tidak ke masjid ia tidak berkesempatan atau tidak melaksanakan shalat tarawih berjamaah, maka kepergiannya ke masjid tentu akan memperoleh kebaikan yang banyak.
Jumlah Rakaat
Berapa rakaat shalat tarawih para sahabat yang diimami oleh Ubay bin Kaab? Hadits tentang kisah itu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tidak menjelaskan hal ini. Begitu juga hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah. Hanya menyebut Rasulullah saw. shalat tarawih berjamaah bersama para sahabat selama tiga malam. Berapa rakaatnya, tidak dijelaskan. Hanya ditegaskan bahwa tidak ada perbedaan jumlah rakaat shalat malam yang dilakukan Rasulullah di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Jadi, hadits ini konteksnya lebih kepada shalat malam secara umum. Maka tak heran jika para ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk shalat malam secara umum. Misalnya, Iman Bukhari memasukkan hadits ini ke dalam Bab Shalat Tahajjud. Iman Malik di Bab Shalat Witir Nabi saw. (Lihat Fathul Bari 4/250 dan Muwattha’ 141).
Inilah yang kemudian memunculkan perbedaan jumlah rakaat. Ada yang menyebut 11, 13, 21, 23, 36, bahkan 39. Ada yang berpegang pada hadits ‘Aisyah dalam Fathul Bari, “Nabi tidak pernah melakuka shalat malam lebih dari 11 rakaat baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan.”
Sebagian berpegang pada riwayat bahwa Umar bin Khattab –seperti yang tertera di Muwattha’ Imam Malik—menyuruh Ubay bin Kaab dan Tamim Ad-Dari untuk melaksanakan shalat tarawih 11 rakaat dengan rakaat-rakaat yang panjang. Namun dalam riwayat Yazid bin Ar-Rumman dikabarkan jumlah rakaat shalat tarawih yang dilaksanakan di zaman Umar adalah 23 rakaat.
Dalam kitab Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq, Imam At-Tirmidzi menyatakan bahwa Umar, Ali, dan sahabat lainnya melaksanakan shalat tarawih 20 rakaat selain witir. Pendapat ini didukung Imam At-Tsauri, Imam Ibnu Mubarak, dan Imam Asy-Syafi’i.
Di Fathul Bari ditulis bahwa di masa Umar bin Abdul Aziz, kaum muslimin shalat tarawih hingga 36 rakaat ditambah witir 3 rakaat. Imam Malik berkata bahwa hal itu telah lama dilaksanakan.
Masih di Fathul Bari, Imam Syafi’i dalam riwayat Az-Za’farani mengatakan bahwa ia sempat menyaksikan umat Islam melaksanakan shalat tarawih di Madinah dengan 39 rakaat dan di Makkah 33 rakaat. Menurut Imam Syafi’i, jumlah rakaat shalat tarawih memang memiliki kelonggaran.
Dari keterangan di atas, jelas akar persoalan shalat tarawih bukan pada jumlah rakaat. Tapi, pada kualitas rakaat yang akan dikerjakan. Ibnu Hajar berkata, “Perbedaan yang terjadi dalam jumlah rakaat tarawih mucul dikarenakan panjang dan pendeknya rakaat yang didirikan. Jika dalam mendirikannya dengan rakaat-rakaat yang panjang, maka berakibat pada sedikitnya jumlah rakaat; dan demikian sebaliknya.”
Imam Syafi’i berkata, “Jika shalatnya panjang dan jumlah rakaatnya sedikit itu baik menurutku. Dan jika shalatnya pendek, jumlah rakaatnya banyak itu juga baik menurutku, sekalipun aku lebih senang pada yang pertama.” Selanjutnya beliau mengatakan bahwa orang yang menjalankan tarawih 8 rakaat dengan 3 witir dia telah mencontoh Rasulullah, sedangkan yang menjalankan tarawih 23 rakaat mereka telah mencontoh Umar, generasi sahabat dan tabi’in. Bahkan, menurut Imam Malik, hal itu telah berjala lebih dari ratusan tahun.
Menurut Imam Ahmad, tidak ada pembatasan yang signifikan dalam jumlah rakaat tarawih, melainkan tergantung panjang dan pendeknya rakaat yang didirikan. Imam Az-Zarqani mengkutip pendapat Ibnu Hibban bahwa tarawih pada mulanya 11 rakaat dengan rakaat yang sangat panjang, kemudian bergeser menjadi 20 rakaat tanpa witir setelah melihat adanya fenomena keberatan umat dalam melaksanakannya. Bahkan kemudian dengan alasan yang sama bergeser menjadi 36 rakaat tanpa witir (lihat Hasyiyah Fiqh Sunnah: 1/195)
Jadi, tidak ada alasan sebenarnya bagi kita untuk memperselisihkan jumlah rakaat. Semua sudah selesai sejak zaman sahabat. Apalagi perpecahan adalah tercela dan persatuan umat wajib dibina. Isu besar dalam pelaksanaan shalat tarawih adalah kualitas shalatnya. Apakah benar-benar kita bisa memanfaatkan shalat tarawih menjadi media yang menghubungkan kita dengan Allah hingga ke derajat ihsan?
Cara Melaksanakan Tarawih
Hadits Bukhari yang diriwayatkan Aisyah menjelaskan cara Rasulullah saw. melaksanakan shalat malam adalah dengan tiga salam. Jadi, dimulai dengan 4 rakaat yang sangat panjang lalu ditambah 4 rakaat yang panjang lagi kemudian disusul 3 rakaat sebagai witir (penutup).
Boleh juga dilakukan dengan dua rakaat dua rakaat dan ditutup satu rakaat. Ini berdasarkan cerita Ibnu Umar bahwa ada sahabat bertanya kepada Rasulullah saw. tentang cara Rasulullah saw. mendirikan shalat malam. Rasulullah saw. menjawab, “Shalat malam didirikan dua rakaat dua rakaat, jika ia khawatir akan tibanya waktu subuh maka hendaknya menutup dengan satu rakaat (muttafaq alaih, lihat Al-Lu’lu War Marjan: 432). Rasulullah saw. sendiri juga melakukan cara ini (lihat Syarh Shahih Muslim 6/46-47 dan Muwattha’: 143-144).
Dari data-data di atas, Ibnu Hajar menyimpulkan bahwa Rasulullah saw. kadang melakukan witir dengan satu rakaat dan kadang tiga rakaat.
Jadi, sangat tidak pantas jika perbedaan jumlah rakaat shalat tarawih menjadi isu yang pemecah persatuan umat. []

MEMANJANGKAN RAMBUT BAGI LAKI-LAKI




APAKAH SUNNAH BAGI LAKI-LAKI MEMANJANGKAN RAMBUTNYA?

Apakah sunnah laki-laki memanjangkan rambutnya??? dan apa pula hukum botak bagi laki-laki??? Dalam artikel ini pembaca akan menemukan jawabannya dari muhadits syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, yang dikutip dari majalah Al Asholah edisi ke-12, tgl, 15 ?Shofar- 1415H, hal : 54.

Fatwa Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah Pendahuluan: Makalah ini diambil dari rubrik tanya jawab Syeikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani ?rahimahullah- dari Majalah As-Asholah, edisi ke-12, tgl, 15 ?Shofar- 1415H, hal : 54. Rubrik ini diawali dengan bahasan seorang penuntut ilmu tentang hukum botak, kemudian Syeikh Al-Albani menanggapi bahasan tersebut, dan menerangkan hukum memanjangkan rambut, adapun judul bukan dari judul asli tapi judul dari penerjemah - pent. Isi dari Makalah:
Seorang dari kalangan penuntut ilmu bertanya :
Kebanyakan dari para pelajar sekolah bertanya-tanya, tentang hukum meninggalkan (memanjangkan) rambut kepala dan hukum membotakannya. Permasalahan ini menjadi kabur bagi mereka ; antara apa yang diperintahkan dan ditekankan oleh (peraturan) sekolah kepada mereka, berupa kewajiban membotak rambut kepala atau mencukur terlalu pendek (cepak), dan antara apa yang mereka lihat dari sebagian guru-guru yang konsisten dalam beragama, - kita tidak mensucikan diri seseorang melebihi tazkiah Allah ? membiarkan rambut kepala mereka (hingga panjang), tanpa dipotong. Guru-guru tersebut selalu membersihkan dan menyisirnya. Mereka sudah terbiasa membiarkannya (panjang). Maka saya mengatakan (penulis makalah), - dengan memohon pertolongan kepada Allah - : Sesungguhnya memanjangkan rambut adalah sunnah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad ? rahimahullah taala - : memanjangkan rambut itu adalah sunnah, seandainya kita mampu pasti kita sudah memanjangkannya. Akan tetapi hal ini butuh beban dan perhatian. Ibnu Qayim dalam kitabnya (Zadul Maad) berkata: Rasulullah tidak diketahui membotak kepala , kecuali dalam ibadah (haji dan umrah). Sesungguhnya sudah datang hadits-hadits shohih yang menerangkan akan sifat (model) rambut Rasulullah ? Alaihi as-sholatu was-sallam - . Di dalam kitab (Al-Mughni), dikatakan; Dan rambut manusia itu disukai seperti model rambut Nabi ?Sholallahu alaihi wa sallam - , apabila panjang sampai ke bahu, dan apabila pendek sampai ke cuping telinganya. Kalau dipanjangkan tidak apa-apa. Imam Ahmad telah menyatakan seperti itu. Saya mengatakan (penulis makalah) : sesungguhnya memanjangkan rambut itu mesti mempunyai beberapa hal yang harus diperhatikan, di antaranya :
Ikhlas karena Allah Taala, dan mengikuti petunjuk Rasul, supaya mendapatkan balasan dan pahala.
Dalam memanjangkan rambut tersebut, hendaknya tidak menyerupai wanita, sehingga dia melakukan apa yang dilakukan wanita terhadap rambutnya, dari jenis dandanan yang khusus bagi wanita.
Dia tidak bermaksud untuk menyerupai ahli kitab ( kristen dan yahudi), atau penyembah berhala, atau orang-orang yang bermaksiat dari kalangan muslimin seperti seniman-seniman dan artis (panyanyi dan pemain film), atau orang-orang yang mengikuti langkah mereka, seperti bintang olah raga, dalam model potongan rambut mereka serta dandanannya.
Membersihkan rambut,dan menyisirnya sekali dua hari. Dianjurkan memakai minyak dan wangi-wangian serta membelahnya dari pertengahan kepala. Apabila rambutnya panjang dia menjadikannya berkepang-kepang. A
Adapun botak, Syeikh Ibnu Taimiyah telah membahas secara terperinci. Dia membagi pembahasannya menjadi empat bagian. Ringkasan pembahasannya (secara bebas ) : Apabila botak itu karena melaksanakan haji, umrah, atau untuk kebutuhan seperti berobat, maka hal ini sudah konsisten dan disyariatkan, berdasarkan Al-Kitab (Al-Quran) dan Sunnah, bahkan tidak ada keraguan dalam pembolehannya.
Adapun selain itu, maka hal tersebut tidak akan keluar dari salah satu, dari dua permasalahan : Pertama: Dia membotaknya berdasarkan (beranggapan botak itu) adalah ibadah, (cermin) keagamaan, atau kezuhudan, bukan karena haji atau umrah. Seperti orang menjadikannya botak itu sebagai simbol dari ahli ibadah (orang yang banyak ibadahnya) dan ahli agama. Atau dia menjadikannya sebagai simbol kesempurnaan zuhud dan ibadah. Maka dalam hal ini, Syeikh Islam telah berkata: Membotak kepala adalah bidah yang tidak pernah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan bukan pula hal yang wajib atau disukai oleh seorang pun dari pemimpin-pemimpin agama. Tidak pernah diperbuat oleh salah seorang dari shohabat-shohabat dan pengikut mereka dengan baik. Juga tidak pernah dilakukan oleh syeikh-syeikh kaum muslimin yang terkenal dengan kezuhudan dan ibadah; baik (mereka) itu dari kalangan shohabat, tabiin, dan tabi tabiin serta orang-orang sesudah mereka.
Kedua: Dia membotakkan kepala bukan pada saat ibadah haji atau umrah, dan bukan karena kebutuhan ( berobat ), serta bukan juga atas dasar mendekatkan ( diri kepada Allah ) dan ritual, dalam masalah ini ulama mempunyai dua pendapat :
Pendapat yang pertama: Karahiyah (dibenci).
Pendapat ini adalah mazhab Malik, dan lainnya. Juga salah satu riwayat dari Ahmad. Beliau berkata : Mereka ( ulama ) membenci hal itu ( botak tanpa sebab ). Hujjah orang yang berpendapat dengan pendapat ini adalah bahwa membotakkan kepala adalah syiar (simbol ) Ahli bidah ( khawarij ). Karena khawarij membotakkan kepala mereka. Sungguh Nabi ? shollallahu alaihi wa sallam ? telah bersabda tentang mereka : Ciri-ciri mereka adalah botak . Sebagaimana sebagian orang khawarij menganggab botak kepala itu merupakan bagian dari kesempurnaan taubat dan ibadah. Di dalam kitab shohih Bukhori dan Muslim disebutkan : sesungguhnya tatkala Nabi - shollallahu alaihi wa sallam ? membagi (harta rampasan perang ) pada tahun fath ( pembebasan Mekah ), dia didatangi seorang laki-laki yang jenggotnya lebat lagi ( kapalanya ) botak. Di dalam musnad Imam Ahmad diriwayatkan dari Nabi ? Shollallahu alaihi wa sallam ? Bukan dari golongan kami orang yang membotak kepala . Ibnu Abbas berkata : Orang membotakkan kepalanya di seluruh negeri adalah syaitan .
Pendapat yang kedua: Mubah ( dibolehkan membotakkan kepala ). Pendapat ini terkenal di kalangan pengikut Abu Hanifah dan Syafii. Juga merupakan riwayat dari Ahmad. Dalil mereka adalah, apa yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Nasai, dengan sanad yang shohih ? sebagaimana yang dikatakan oleh pengarang kitab Al- Muntaqo ? dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi ? shollallahu alaihi wa sallam ? melihat seorang anak ( bayi ) sebagian kapalanya sudah dibotak dan sebagian yang lain ditanggalkan ( tidak dibotak ), maka dia melarang dari perbuatan tersebut, lantas bersabda Cukurlah keseluruhannya ( botak merata ) atau biarkan keseluruhannya ( tidak dicukur sama sekali ). Dan ( juga ) dihadapkan kepada baliau ? shollallahu alaihi wa sallam ? anak-anak yang kecil setelah tiga ( hari dari kelahirannya ? pent ) lalu membotakkan kepala mereka. Dan karena dia ? shollallahu alaihi wa sallam ? melarang dari Qaza. Qaza itu adalah membotak sebagian ( kepala ). Maka hal ini menunjukkan bolehnya membotak secara keseluruhan. Syaukani ? rahimahullah ? berkata di dalam kitab Nail Authoor di waktu dia berbicara tentang hadits yang dicantumkan oleh pengarang Al-Muntaqo tadi : Di dalam hadits tadi terdapat dalil bolehnya membotakkan kepala secara keseluruhannya. Ghazali berkata, Tidak apa-apa ( membotakkan kepala ) bagi siapa menginginkan kebersihan. Dan di dalam hadits itu ( juga ) terdapat bantahan kepada orang yang membencinya ( botak ). Di dalam kitab Al-mughni disebutkan : Hanbal berkata : Aku dan bapakku membotak kepala kami, semasa hidup Abu Abdillah ( Imam Ahmad ), lantas dia melihat kami dan tidak melarang kami. Ibnu Abdul Barri berkata : sungguh ulama telah sepakat (ijma) atas bolehnya botak dan ini cukup dijadikan sebagai hujjah.
Saya mengatakan ( penulis makalah ) ? wabillahi at-taufiq - : pendapat yang kedua ini yang kuat bagiku, karena keshohihan dan terang ( jelas ) riwayat-riwayatnya, wallahu alam. Adapun peraturan sekolah untuk melarang semua pelajar memanjangkan rambut kepala, maka peraturan ini hanya merupakan tindakkan menutup celah ( perantara kejelekan ) dan menolak kerusakkan. Hal itu disebabkan apa yang dilihat sekolah dari sekolompok pelajar -yang tidak sedikit- mereka memanjangkan rambut bukan karena sunnah, tetapi karena meniru dan mencotoh orang - orang tenar dari kalangan seniman yang tak tahu malu, serta bintang olahraga, baik dari kaum muslimin atau lainnya, dengan membentuk rambut kepala seperti model rambut orang-orang tenar tersebut, sebagai ungkapan cinta dan kagum terhadap corak kehidupan mereka.
Bahaya-bahaya pelajar yang mencontoh ini, tidak hanya sebatas diri mereka sendiri, malahan akan menjalar ke teman-teman mereka di sekolah. Karena mereka terpengaruh oleh tingkah laku yang arogan ini, sehingga menyebabkan hanyutnya jiwa-jiwa yang lemah dari para pelajar, terutama dari pantaran mereka. Apalagi pada umur ini, mereka dikalahkan oleh kelabilan mereka dalam pergaulan, serta keinginan yang banyak. Juga karena terlalu cepat terpengaruh, serta tergesa-gesa mengambil keputusan. Maka anda akan menemukan seorang pelajar pada umur ini (masa ini ) lebih banyak terpengaruh oleh temannya di sekolah ketimbang dari guru-gurunya atau orang tuanya sekalipun. Wallahu alam.
Jawaban (komentar Syeikh Al-Albani terhadap makalah diatas).
Segala puji bagi Allah dan sholawat dan salam atas Rasulullah, keluarganya, dan sahabat-sahabatnya, serta orang yang mengikuti petunjuknya.
Amma badu : Sesungguhnya saya menyokong dengan sokongan yang kuat, akan nas (penyataan) yang disebutkan di penghujung fatwa ini (makalah di atas). Karena pernyataan tersebut bersandarkan kepada kaidah syariyah yang penting, yaitu : menolak kerusakkan (kerugian ) sebelum ( lebih didahulukan dari pada ) mengambil kemashlahatan ( keuntungan ). Apalagi jika di sana tidak ada suatu mashlahat pun, kecuali mencontoh orang-orang kafir atau orang-orang fasiq ?. Sungguh Nabi ? shollallahu alaihi wa sallam ? telah bersabda dalam hadits yang shohih : Artinya : barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia itu dari golongan mereka Dan terdapat hadits-hadits yang banyak yang semakna dengan hadits ini, di bermacam-macam bab ( sub bahasan ) di dalam syariat Islam. Saya telah sebutkan di antaranya kira-kira 40 hadits di dalam kitab saya Hijabul- Mar-ah Muslimah ( Hijab Wanita Muslimah ) yang belakangan saya cetak dengan judul Jilbaabul ? Mar-ah Muslimah (Jilbab Wanita Muslimah). Oleh karena itu saya selalu berfatwa bahwasanya tidak boleh bagi pemuda-pemuda dan para pelajar untuk membiarkan (memanjangkan) rambut kepala mereka. Tetapi mereka harus membotak atau memendekkannya. Sebagaimana yang diperbuat kebanyakan muslimin. Wa billahit ? taufiq.
Tidak ada lagi bagi seseorang pun, untuk mengatakan pada zaman sekarang, bahwa membotak itu hukumnya makruh. Karena tidak ada dalilnya kecuali hal tersebut merupakan simbol kaum khawarij. Sedangkan mereka sekarang pun ? di antaranya Ibadhiyah ? tidak berpegang teguh lagi ( tidak mewajibkan ), sebatas yang saya ketahui. Apabila mereka ditemukan pada suatu negeri berpegang teguh dengan simbol ini (botak), maka penduduk negeri itu wajib untuk menyelisihi mereka ? berdasarkan dalil di atas (larangan menyerupai suatu kaum)- . Apabila tidak ada, maka pada dasarnya (hukum botak itu) boleh. Sesuai dengan hadits Ibnu Umar yang dishohihkan di kitab Al-Muntaqa . Sebenarnya pengarang lupa bahwa hadits tersebut diriwayatkan juga oleh Muslim . Sebagaimana yang telah saya takhrij di kitab Al-Ahaadits As-Shohihah (1123). Adapun hadits : (laisa minna man halaq ), maka hadits ini potongan dari hadits Abu Musa Al-Asyary dengan lafal: (laisa minna man halaqa wa kaharaqa wa salaqa ) Artinya: Bukanlah dari golongan kami orang yang membotak, merobek dan mengangkat suara. Demikianlah yang diriwayatkan oleh sekolompok imam-imam, di antaranya; Imam Ahmad di Musnadnya ( 4 / 411 ), dan demikian juga di Shohihain (Bukhari Muslim). Imam Bukhari manyantumkan satu judul bab di kitabnya As-Shohih dengan judul : Bab Larangan Membotak Karena Ditimpa Musibah . Oleh karena itu, maka hadits ini khusus terhadap orang membotak untuk menyatakan kesedihannya, sehubungan dengan kematian karib kerabatnya. Perbuatan ini mengandung protes (tidak ridho ) terhadap keputusan Allah Taala dengan dalil perkataan beliau : ( wa Kharaqa ) merobek kain, dan juga perkataannya : (wa salaqa ) yakni ; mengangkat suara dalam meratapi mayat. Makna ini diperkuat lagi, sehubungan Abu Musa meriwayatkan hadits ini di waktu sakit ( yang menyebabkan ) kematiannya, seperti yang terdapat di Shohihain (Bukhari-Muslim). Hadits ini juga ditakhrij di kitab Al-Irwa ( no : 771 ) dan di kitab Ahkamul ? Janaaiz. Adapun perkataan Ibnu Abbas yang disebutkan di fatwa tadi, saya tidak menemukan sanadnya. Saya tidak mengiranya shohih. Apabila shohih, perkataan itu diarahkan kepada ( perbuatan ) menyerupai Khawarij, sebagaimana yang telah berlalu ( hukum menyerupai khawarij, pent ).
Adapun pendapat yang mengatakan memanjangkan rambut kepala itu (hukumnya) sunnah, maka tidak ada dalil yang bisa dijadikan hujjah. Hadits yang shohih dari Rasulullah ? shollallahu alaihi wa sallam ? dalam hal itu (bahwa beliau memanjangkan rambut ), tidak cukup dijadikan sebagai dalil ( bahwa rambut panjang itu sunnah ). Sebab memanjangkan rambut itu merupakan adat kebiasaan. Sungguh sudah shohih juga hadits yang mengatakan, bahwa beliau ? shollallahu alaihi wa sallam ? masuk ke Makkah, sedangkan (di waktu itu ) dia mempunyai empat ghadair,seperti yang terdapat di dalam kitab saya Mukhtashor Syamail Muhammadiyah (35/23). Ghadair itu artinya : rambut panjang dijalin atau berkepang-kepang.
Menjalin rambut panjang itu, semata-mata adat kebiasaan orang Arab. Sebagian mereka masih melakukannya di sebagian padang pasir ( sebagian orang Badui ). Maka apakah dikatakan juga, mengepang rambut panjang itu sunnah ?! Sungguh sama sekali tidak? Oleh karena itu, pada adat-adat kebiasaan seperti ini harus ada dalil yang khusus memperkuat bahwasanya adat-adat kebiasaan itu adalah sunnah ibadah. Bagaimana, sedangkan Nabi ? shollallahu alaihi wa sallam ? sungguh telah menyamakan (hukumnya), antara membotak dan membiarkannya di dalam sabda beliau :
Uhluquuhu kullahu au dzaruuhu kullahu
Artinya : Botakkanlah seluruhnya atau biarkan seluruhnya. Bahkan beliau membotak kepala tiga anak kecil setelah tiga ( hari ), seperti yang disebutkan di fatwa tadi ( makalah di atas ). Pernyataan tersebut merupakan hadits shohih juga, saya telah mentakhrijnya di kitab saya Ahkamul Janaaiz Wa bidauha hal : 166.
Oleh karena itu tidak ada bagi seorang pun dari kalangan pemuda yang ditimpa penyakit suka menyerupai ( mencontoh ) orang-orang kafir dan fasiq, pada rambut mereka, untuk bertamengkan sunnah. Sesungguhnya hal tersebut adalah sunnah adat kebiasaan, bukan sunnah ibadah. Apalagi kebanyakan dari mereka tidak mencontoh Nabi ? shollallahu alaihi wa sallam ? pada apa yang diwajibkan kepada mereka, seperti menggunting kumis dan memelihara jenggot.
Artinya : Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya (Suart : 50, ayat : 37 ).

ASURANSI DALAM ISLAM.


APAKAH HUKUM ASURANSI DALAM ISLAM ?

Dalam masa moderen ini, telah banyak tersebar badan-badan asuransi, ada asuransi jiwa, ada asuransi kecelakaan, ada asuransi kebakaran dan lain-lain. Terkadang seseorang tertarik untuk masuk ke asuransi itu didorong oleh keinginan untuk tidak mendapatkan kerugian, jelas ini disebabkan kurangnya rasa percaya kepada takdir, selaku umat islam kita harus mengetahui hukumnya menurut kaca mata agama, apakah hukum asunransi itu?

1) Pertanyaan : Apa hukum asuransi jiwa dan harta milik ?
Jawaban : Asurunsi jiwa tidak boleh; karena orang yang mengasuransikan jiwanya apabila malaikat maut datang, maka dia tidak sanggup mentransfer jiwanya ke perusahaan asuransi. Perbuatan ini adalah salah dan bodoh serta sesat. Perbuatan ini juga mengandung unsur penyerahan diri (tawakal) kepada perusahaan tersebut bukan kepada Allah. Maka dia berkayakinan apabila dia mati maka perusahaan akan menjamin sambako dan nafkah untuk ahli warisnya, ini merupakan penyerahan diri kepada selain Allah. Asal usul asuransi ini diambil dari perjudian, bahkan asuransi itu pada prakteknya adalah judi. Allah telah mensejajarkan perjudian dengan syirik, dan dengan perbuatan mengadu nasib dengan undian serta dengan minuman keras di dalam Kitab-Nya. Adapun di asuransi ini, jika seseorang membayar sejumlah uang, dan kadang-kadang dia membayar sampai bertahun-tahun, dia selalu menjadi orang yang membayar hutang, jika ia mati pada waktu yang singkat, maka perusahaanlah yang membayarnya. Setiap transaksi berputar sekitar untung dan rugi maka itu adalah perjudian. 2) Pertanyaan : Saya mendengar dari sebagian masyarakat bahwa seseorang bisa mengasuransikan harta miliknya dan pada waktu terjadi kecelakaan (insiden) pada sesuatu yang diasuransikan itu, maka perusahaan akan menggantinya. Saya mohon dari kemulian Syeikh untuk menerangkan hukum asuransi ini. Apakah di antara asuransi itu ada yang dibolehkan dan ada yang dilarang ?
Jawaban : Asuransi artinya seseorang membayar jumlah uang tertentu ke perusahaan setiap bulan atau setiap tahun, supaya perusahaan itu menjamin insiden yang mungkin akan terjadi pada sesuatu yang diasuransikan itu. Sebagaimana yang diketahui, orang yang membayar asuransi itu tetap menjadi orang yang berhutang. Adapun perusahaan terkadang beruntung dan terkadang merugi. Dengan artian apabila insiden itu besar dan lebih banyak daripada yang dibayar, maka perusahaan merugi. Apabila insidennya kecil dan lebih sedikit dari yang dibayar klemnya, maka dia beruntung. Atau tidak ada terjadi insiden sama sekali maka klemnya merugi. Bentuk transaksi ini yaitu; manusia berada diposisi untung atau rugi, maka itu termasuk perjudian yang telah diharamkan oleh Allah di dalam Kitab-Nya dan dia mensejajarkan dengan minum khamar serta mengibadati berhala. Berdasarkan bentuk asuransi seperti ini hukumnya haram. Dan saya tidak mengetahui sedikitpun bentuk asuransi yang didirikan atas penipuaan (kerugian) hukumnya boleh. Akan tetapi seluruhnya adalah haram berdasarkan hadits Abu Hurairah t bahwa Nabi e melarang jaul beli yang mengandung unsur penipuan . Jawaban di atas dijawab olah Syeikh Muhammad bin Sholeh bin Utsaimin ulama besar Saudi. 3) Pertanyaan : Apa pandangan syara (agama) terhadap asuransi perdagangan, terutama asuransi mobil ?

Jawaban :
Hukum asuransi perdagangan ( komersial ) tidak boleh oleh Agama, dalilnya firman Allah Taala : Artinya : Janganlah kalian memakan harta diantara kalian dengan cara yang batil. (Q.S. 2:188). Dimana perusahaan asuransi tersebut memakan harta nasabahnya secara tidak benar (secara haram), karena salah seorang dari nasabahnya membayar setiap bulan dengan sejumlah harta, kadang-kadang sampai mencapai puluhan ribu rial (jutaan Rupiah), sedangkan dia tidak butuh perbaikan apapun dari mobilnya selama setahun, kemudian hartanya juga tidak dikembalikan. Kadang-kadang sebagian nasabah membayar dengan harta yang sedikit, tahunya terjadi kecelakaan, maka perusahaan asuransi pun menanggung resikonya, dengan harga yang berlipat ganda dari uang yang telah dibayarkan, pada saat itu, nasabah tadi memakan harta perusahan secara tidak benar. Kebanyakkan dari para nasabah yang telah membayar uang ke Asuransi, membawa mobil dengan kegila-gilaan, ngebut, sehingga nyaris kecelakaan, lantas mereka mengatakan : Perusahaan asuransi yang menanggung. Kadang-kadang hal ini mendorong untuk terjadinya kecelakaan. Dalam keadaan ini, merupakan bahaya terhadap penduduk yang menyebabkan banyaknya kecelakaan dan kematiaan. Wallahu alam.

4) Pertanyaan : Apa hukum asuransi mobil ?,
dimana kebanyakan dari pengusaha rental mobil di airport mengasuransikan mobil mereka. Apabila seseorang menyewa mobil dari rental tersebut, dia harus membayar uang sebesar 30 Rial (60.000,00 Rupiah) sebagai jaminan (asuransi) mobil yang disewanya, jikalau terjadi insiden terhadap mobil itu, maka perusahaan pun akan menanggung perbaikannya, miskipun insiden itu kesalahan penyewa sendiri. Mohon dijelaskan, semoga Allah membalasmu dengan balasan yang baik!
Jawab : Pendapat saya asuransi itu merupakan salah satu bentuk dari bahaya. Dimana kadang?kadang perusahaan asuransi itu mengambil harta (uang) dari nasabahnya setiap tahun, sedangkan dia tidak pernah memperbaiki sedikit apapun. Dan juga para nasabah kadang-kadang tidak membutuhkan perbaikan atau lainnya. Kadang-kadang perusahaan itu mengambil dari nasabahnya harta yang sedikit, tapi di satu sisi merugi dengan kerugian yang banyak sekali.
Ada di antara pemilik mobil itu iman dan rasa takut mereka kepada Allah kurang, maka ketika dia mengasuansikan mobilnya, lantas dia tidak menghiraukan lagi apa pun yang akan terjadi, bahkan mencari-cari bahaya, sehingga gila-gilaan mengendarai mobil, yang menyebabkan terjadinya kecelakaan serta membunuh jiwa yang tidak bersalah, serta membuang-buang harta yang berharga. Akan tetapi bahaya-bahaya ini tidak mengkhawatirkan mereka, karena perusahaan pun akan menanggung seluruh apa yang akan terjadi . Maka saya mengatakan : Sesungguhnya asuransi ini tidak boleh sedikitpun (haram) karena sebab-sebab di atas dan sebab-sebab yang lainnya, apakah itu asuransi mobil, jiwa, harta, atau lainnya.
Pertanyaan ini dijawab oleh Syeikh Abdullah bin Jibrin salah seorang ulama Saudi.


Disadur oleh Malaya Sampurna, penulis asli tidak diketahui